Sabtu, 30 Juni 2012

Phenylpropanolamin

tes,,

setetes butiran hangat itu mengalir di wajah..
terus menerus dan tak henti..

ku sapu perlahan agar tak terlalu terlihat menyedihkan..
tapi aku sakit..

cucuran itu tak mau berhenti..
dan tak mengering..

membuatku menjadi panas..
dan raga ini lemah..

hanya mampu terbaring..
meratapi yang telah tejadi..

sedih..

ketika ku tahu..

bahwa..


"obat pilek yang mengandung phenylpropanolamin ntu bahaya buat otak..
adoohhh...
trus ingusku yg meler dan bercucuran ni diilangin make apaa?
any idea pren?"

   uhuk uhuk

Minggu, 24 Juni 2012

Bagaimana Membenahi Hukum Ekonomi di Indonesia


Hal pertama yang harus kita pahami adalah apa yang dimaksud dengan hukum ekonomi, dan bagaimana hukum ekonomi di Indonesia, kemudian baru kita dapat menyimpulkan bahwa hukum ekonomi di Indonesia itu seperti apa. Selanjutnya kita dapat menyimpulkan bagaimana membenahi hukum ekonomi di Indonesia.
Di dalam hubungan hukum dan ekonomi, yaitu sistem ekonomi akan berjalan lancar dengan dukungan sistem hukum. Adanya hubungan yang erat antara hukum dan ekonomi menjadi pengaruh timbal balik. Jadi tanpa adanya hukum dalam sistem perekonomian, suatu negara tidak akan berkembang dan maju karena hukum ekonomi berperan penting bagi pembangunan hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat. Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.
Secara garis besar hukum merupakan suatu alat yang mengikat dan mengatur serta memiliki sifat yang memaksa. Hukum ekonomi di Indonesia juga tak luput dari arti hukum yang sesungguhnya yang mengikat, mengatur dan memaksa tersebut tapi yang membedakan antara jenis hukum ekonomi dengan hukum lainnya semuanya berasal dari prosedur dalam menjalani hukum-hukum tersebut yang pastinya semuanya berasal dari perundang-undang hingga proses berjalannya hukum itu sendiri.
Hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi dengan harapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Tujuan hukum ekonomi sendiri yaitu untuk menjamin berfungsinya mekanisme pasar secara efisien dan lancar, melindungi berbagai jenis usaha, memberikan perlindungan terhadap pelaku ekonomi, memperbaiki sistem keuangan dan sistem perbankan, memberiken perlindungan terhadap pelaku ekonomi, serta mampu mewujudkan kesejahteraan umum. Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas di bentuknya hukum tersebut.
Membicarakan mengenai hukum, bagaimana dengan kondisi dan perkembangan hukum ekonomi di Indonesia sekarang ini? Bila dilihat dari segi perundang-undangan Negara Republik Indonesia sudah tidak diragukan lagi bangsa Indonesia memiliki beragam hukum yang mengatur semuanya, tapi bagaimana bila dilihat dari segi masyarakat? Tak jarang masyarakat mengetahui secara pasti tentang keseluruhan hukum ekonomi di Indonesia sehingga cukup sulit untuk membenahi hukum ekonomi di Indonesia yang disebabkannya banyaknya masyarakat awam yang belum memahami secara jelas dari hukum-hukum tersebut. Kebanyakan masyarakat hanya memilih bungkam dalam masalah hukum ekonomi di Indonesia. Hal tersebut dapat di sebabkan karena tidak paham, tidak peduli bahkan di bohongi akan kebenaran yang sesungguhnya.
Kondisi hukum di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ini terjadi karena kurangnya koordinasi yang teratur. Banyak penyimpangan-penyimpangan yang masih suka terjadi.
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Kegiatan reformasi hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat
Aneh, kemana hukum-hukum ekonomi tersebut berada? Mengapa masih banyak masyarakat yang mengalami penipuan dan miskomunikasi? Seakan semuanya tidak pernah ada, tapi sebenarnya hukum ekonomi di negara kita ada, tapi karena kurangnya pengetahuan, rasa waspada, dan peduli terhadap hukum itu sendiri maka hukum ekonomi tidak pernah terasa dan terjangkau bagi kita semua.
Untuk membenahi hukum ekonomi di Indonesia dapat dibilang sulit, apa lagi bila di pihak masyarakat tidak mengenal secara jelas hukum ekonomi tersebut. Sudah kurangnya pengetahuan akan hukum ekonomi, kurangnya rasa waspada dan faktor-faktor internal eksternal lainnya yang ikut mempengaruhi mudah sulitnya pembenahan hukum ekonomi di Indonesia. Oleh sebab itu ada baiknya bila kita sebagai masyarakat saling berbagi pengalaman akan hukum ekonomi yang berjalan di Indonesia, hal tersebut dapat dilakukan dari hal-hal kecil seperti berupa cerita, seminar, dan penjelasan-penjelasan sejenisnya. Bukankah dari hal-hal kecil dapat berubah menjadi besar?
Pemerintah juga seharusnya peduli akan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, pemerataan pembangunan di segala lini, dan juga lapangan kerja baru yang saat ini sangat dibutuhkan, mengingat jumlah angka pengangguran di Indonesia saat ini masih tinggi.
Jika kita melihat kenyataan, bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak akan mengalami kemajuan yang begitu pesat, tetapi kemajuan itu akan tetap ada walaupun berjalan secara bertahap. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk mewujudkan penegakkan hukum dengan didukung oleh aparat penegak hukum lainnya. Kasus mafia peradilan yang akhir-akhir ini banyak disorot masyarakat akan menjadikan penegak hukum lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah.
Konsep yang perlu diwujudkan antara lain adalah aparatur penegak hukum yang professional, adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas, dan tidak memihak, penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan, penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur Negara, mekanisme kontrol yang efektif, dan pemajuan dan perlindungan HAM. Hukum ekonomi hendaknya bersifat dinamis, sehingga membuka kemungkinan untuk berbagai kebutuhan masyarakat.
Jika semua hal tersebut telah diperbaiki, wajah hukum ekonomi Indonesia akan menjadi lebih baik. Harapan-harapan yang akan tercapai bila semua lini telah diperbaiki adalah pemerataan hukum dan ekonomi, pemerataan pembangunan nasional, hukum yang adil dan transparan, luasnya lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan terciptanya kestabilan suatu negara.
Maka dari itu, bantuan dari masyarakat juga perlu turut serta dalam membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Dan semoga dengan adanya campur tangan pemerintah dapat berguna bagi seluruh masyarakat agar masyarakat tidak merasa di rugikan kembali atas hal-hal yang pernah menimpa mereka didahulu disaat belum mengetahui hukum ekonomi di Indonesia, serta dapat berguna sebagai bekal bagi masyarakat untuk lebih waspada atau mawas diri atas hukum ekonomi di Indonesia. Sehingga pembenahan hukum ekonomi di Indonesia dapat lebih mudah dan berjalan lancar.

Sejauh Mana Undang-Undang Perlindungan Konsumen Sudah Ditegakkan


Undang-undang perlindungan konsumen terbentuk untuk melindungi konsumen dari kelicikan-kelicikan produsen ataupun hal-hal berbahaya atau negatif yang mungkin terjadi pada konsumen. Kurangnya keperdulian dan banyaknya kesemena-menaan pengolahan produk telah menanamkan bibit penyakit pada konsumen.
Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
Sudah banyak masyarakat yang menjadi korban menggunakan produk. Misalnya, masyarakat yang keracunan makanan dan minuman. Itu sudah banyak terjadi, tapi selalu saja hasilnya tidak ditemukan unsur yang berbahaya dan ini salah satu pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang tidak diketahui masyarakat. Disini, pengenalan lebih lanjut atau sosialisasi sangat diperlukan. Hal itu untuk menekan ketidakpedulian masyarakat terhadap UU Perlindungan Konsumen agar pelaku usaha tak sembarangan dan memperbaiki produk-produk yang ditawarkan pada konsumen.
Makanan kadaluarsa, ikan atau makanan basah lain yang mengandung formalin dan boraks, daging sisa atau bekas dari hotel dan restoran yang diolah kembali, produk susu yang mengandung melamin. Dari contoh tadi dapat diketahui bahwa konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain konsumen harus membayar dalam jumlah atau harga yang boleh dikatakan semakin lama semakin mahal, konsumen juga harus menanggung resiko besar yang membahayakan kesehatan dan jiwanya, hal yang memprihatinkan adalah peningkatan harga yang terus menerus terjadi tidak dilandasi dengan peningkatan kualitas atau mutu produk.
Ada banyak tanda tanya disini. Kecurangan dan kepicikan itu terjadi karena apa? Diperoleh dari mana? Kok bisa? Kurangnya penegasan jual-beli barang kurang diperhatikan. Banyak produsen atau pelaku usaha masih mengambil untung dari barang-barang sisa, atau pun barang-barang busuk. Sehingga ketika produk buruk ini masih diperjualbelikan selain menguntungkan si pemilik barang juga akan menguntungkan bagi produsen lain yang akan memproses ulang barang tersebut. Dan bibit penyakit pun akan mulai menyebar luas kembali. Eksistensi konsumen tidak sepenuhnya dihargai karena tujuan utama dari penjual adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam jangka pendek bukan untuk  jangka panjang.
Jual-beli produk yang seharusnya untuk bahan pembangunan namun berubah fungsi menjadi bahan makanan juga marak terjadi. Seharusnya ‘mungkin’ untuk jaman yang edan ini jual-beli harus memakai identitas diri agar tujuan pembelian barang jelas untuk apa. Entah apa yang dipikirkan otak-otak kotor dunia jaman sekarang. Sudah cukup sulit memberikan solusi yang matang dan berpotensi ampuh untuk semua kalangan.
Sebenarnya untuk melindungi hak konsumen sesuai UU Perlindungan Konsumen pemerintah telah menetapkan Standart Nasional Indonesia (SNI) terhadap semua produk Indonesia. Ada produk standart yang dikeluarkan perindustrian, ada label Departemen Kesehatan, ada dari Departemen Perundang-undangan. Apabila dilanggar harus dilaporkan. Tujuannya agar generasi penerus dapat berdaya saing. Tanpa daya saing, bangsa Indonesia bisa jadi bangsa yang tidak jelas, sehingga harus ditegaskan bahwa UU Perlindungan Konsumen harus ditegakkan.
Salah satu cermin negara demokrasi ialah adanya kebebasan dalam berekspresi atau mengemukakan pendapat. Pendapat di sini bukan hanya berarti sekedar opini, melainkan juga keluhan atau kritikan terhadap pihak tertentu baik itu institusi pemerintah maupun swasta yang dinilai memang sudah bertindak terlewat batas.
UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disosialisasikan agar konsumen cerdas dan pelaku usaha bertanggung jawab. Ada beberapa hak konsumen termasuk informasi soal produk yang kita beli. Tapi, sejauh ini, pelaku usaha banyak yang melanggarnya. Padahal,  UU ini mengamanahkan bahwa hak konsumen harus dihargai, tapi banyak pelaku usaha kadang masih bersikap arogan.
Hak konsumen seperti hak memperoleh advokasi, hak ganti rugi dan rehabilitasi harus dihargai. Misalnya, beli barang atau jasa, kadang pelaku usaha menyatakan bahwa barang yang sudah di beli tidak bisa dikembalikan. Yang begitu melanggar, padahal konsumen punya hak mengembalikan kalau kualitas barang yang dibeli tidak sesuai.
Tidak hanya dalam persoalan makanan. Banyak terjadinya kasus-kasus yang berkaitan dengan perlindungan konsumen lainnya mungkin sudah banyak didengar hingga bosan. Penegak hukum pun terkadang kurang cermat dalam mengambil langkah-langkah ataupun dalam pemrosesan kasus, baik dalam pengambilan keputusan ataupun penindak lanjutan untuk ke depannya.
Jika ditinjau dari dunia pertelevisian. Dapat dilihat banyaknya penayangan secara terang-terangan proses memproduksi dengan cara-cara yang kotor tadi. Mungkin bermanfaat dan bernilai positif bagi mayarakat konsumen. Tapi di sisi lain banyak produsen-produsen yang akhirnya terarahkan untuk melakukan hal yang sama. Entah tindakan apa yang harus diambil saya juga bingung.
Sebagai konsumen, kita tidak perlu takut untuk mengkritik jika terdapat perlakuan buruk terhadap kita dan supaya lebih berhati-hati dalam bertindak. Sedangkan bagi pihak yang ruang lingkup kerjanya selalu berhubungan dengan pelayanan publik, jadikan kasus ini sebagai peringatan untuk dapat bertindak professional dengan mengutamakan pelayanan. Diharapkan juga bagi penegak hukum di Indonesia agar cermat dalam mengambil keputusan dengan mengutamakan hak yang berimbang antara yang digugat dan penggugat.
Dalam kondisi yang merajalela saat ini sangat diperlukan edukasi di bidang perlindungan konsumen sejak usia sekolah. Sehingga, para pelajar bisa mengerti dan memahami sebagai konsumen muda dan pelaku pasar yang cerdas, kritis dan ikut menentukan tumbuh kembangnya aktivitas usaha perekonomian nasional.
Menetapkan undang-undang yang tegas dan jelas, menetapkan sanksi yang tegas atas pelanggaran terhadap UU, mengawasi secara langsung dalam proses produksi sebuah produk yang akan diproduksi dalam skala besar, melakukan pengawasan terhadap produk – produk yang dijual di pasaran, menyeleksi dengan teliti sebelum memberikan izin beredarnya sebuah produk, mungkin itu beberapa langkah yang harus dijalankan Pemerintah menurut saya.

Kamis, 21 Juni 2012

The Pianist (2002)

Film Correspondent: F. Fajaryanto Suhardi

Movie Review
The Pianist (2002) 


“Memori Seorang Yahudi sebagai Keturunan dari Bangsa yang Paling Dibenci di Seluruh Dunia”

Ada Apa Dengan Yahudi?

Mari kita mengingat kembali apa yang kita lakukan sepuluh tahun lalu. Pada tahun 2002, rasanya sebagian besar dari anda telah melewatkan film ini dan lebih memilih menonton film garapan Sam Raimi yang diangkat dari komik spektakuler Stan Lee, Spider-Man. Padahal jika kita kesampingkan konteks dangkal tentang gegap gempita special effects tercanggih Hollywood saat itu yang dipamerkan dalam seri pertama Spider-Man, ada sesuatu yang luar biasa yang akan anda bawa pulang setelah menyaksikan The Pianist. Bagi anda yang tertarik untuk melakukan studi sejarah tentang “Holocaust” yaitu aksi pembantaian massal ras Yahudi oleh Nazi, maka drama humaniora ini menjadi salah satu rekomendasi paling berbobot dari sejumlah film bertema genosida yang rilis sepanjang satu dekade terakhir. Berdasarkan kisah nyata, seorang pianis berdarah Yahudi, Wladyslaw Szpilman, mengalami serangkaian peristiwa mengerikan selama bertahun-tahun yang kemudian mengubahkan hidupnya selamanya. Berseting di ibukota Polandia, Warsawa yang merupakan salah satu pusat komunitas Yahudi terbesar di Eropa sampai Perang Dunia II, film berdurasi 142 menit ini menyajikan gambaran yang sangat indah sekaligus memilukan tentang keadaan perang di kota itu.

Sebagai pemuda keturunan Yahudi, Szpilman dan keluarganya – ayah, ibu, dua saudarinya Halina dan Regina, dan Hendryk adik laki-lakinya – bersama ratusan ribu orang Yahudi lainnya mengungsi keluar Warsawa setelah tentara Jerman mengambil alih kota itu di bawah rezim Nazi. Mereka diharuskan tinggal di distrik ghetto yang diisolasi tembok pembatas berkawat duri setinggi lima meter untuk mencegah mereka bersosialisasi dengan masyarakat non-Yahudi dan terutama agar mereka tidak kabur. Setiap malam diadakan inspeksi dadakan di kawasan ghetto dan kemudian selalu ada mayat bergelimpangan di jalanan pada pagi harinya. Semua bisnis dan usaha orang-orang Yahudi ditutup, tabungan mereka disita. Mereka juga dilarang makan di restoran umum dan dilarang berbelanja bahan makanan di pasar umum. Secara sengaja, mereka perlahan-lahan dibiarkan melarat dan mati kelaparan. Sehingga pemandangan mayat-mayat kurus kering tinggal kulit pembalut tulang yang ditumpuk dan dibakar dengan bensin akan kita jumpai sepanjang film.

Ada sepenggal kisah ironis yang muncul menjelang film berakhir namun justru menjadi benang merah cerita, yaitu ketika Wladyslaw berada di sebuah rumah tak bertuan – dalam persembunyian di tengah kelaparan yang dahsyat – secara tak sengaja bertemu seorang petinggi SS (Schutzstaffel) yang rupanya amat mengagumi kepiawaiannya berpiano lewat nomor klasik Chopin, Ballad No. 1 Op.23. Bisa anda bayangkan betapa menegangkannya scene ini. Ada pergulatan psikologis yang luar biasa hebat dimana seorang Yahudi tak berdaya tanpa senjata bertemu dengan seorang perwira bersenjata lengkap dari kesatuan SS yang terkenal sangat kejam. Di sinilah sisi kemanusiaan kita dipertaruhkan dan diuji. Apakah perwira SS itu akhirnya membunuhnya atau mungkinkah Wladyslaw berhasil lolos dari maut yang sudah ada di depan mata?

Penghargaan tertinggi Cannes “Palm d’Or” 2002 akhirnya jatuh ke pangkuan Roman Polanski berkat film ini dan nominasi Oscar untuk “Film Terbaik” di taun yang sama. Tapi tunggu dulu – Oscar “hanya” sebatas nominasi? Bukan pemenang? Apa tidak salah tuch? Padahal film ini merupakan kontender terkuat di antara nominator lainnya. Dari segala sisi, The Pianist teruji jauh lebih baik dari musikal Chicago (2002) film kuda hitam yang nyatanya sukses mencuri kategori tertinggi Oscar tersebut – kecuali, tentu saja, untuk urusan unjuk vokal dan goyangan seksi. Siapa yang bisa lupa dengan momen flashback “potret sejarah” pada pembukaan film yang mengambil footage dokumenter lama kota Warsawa akhir dekade 30an dalam format hitam putih diiringi opening menjanjikan dari Polanski dengan menghadirkan “nafas” jemari Adrien Brody memainkan piano melantunkan gubahan komposisi klasik “Nocturne C# minor, B.49” milik Chopin sesaat sebelum digempur mortir hingga kemudian menjadi salah satu adegan film paling klasik sepuluh taun terakhir ini; belum lagi horor agorafobik kala Szpilman berjalan sendirian di antara gedung-gedung hancur sepanjang jangkauan perspektif kamera; atau betapa menggelikan sekaligus mengenaskannya adegan-adegan ketika Szpilman melarikan diri dari tembakan tentara Nazi di atas genteng, ngumpet di sebuah rumah sakit terbengkalai, lalu berbaring di tengah jalan pura-pura mati di samping mayat suster yang sujud kaku saat sepeleton pasukan panzer lari melintas; plus, konser tunggal Brody sebagai Szpilman diiringi credit title menjadi closing scene yang sempurna. Benarkah Chicago Robert Marshall dapat mengalahkan itu semua? Saya rasa AMPAS pun tau apa jawabannya. Silakan protes. Tapi apa yang menyebabkan mereka secara “sepihak” meng-“kudeta” kans kemenangan The Pianist adalah unsur kepentingan theme of the year. Selama dua tahun berturut-turut (2001-2002) Hollywood tengah dilanda demam musikal kabaret yang didominasi cast perempuan mulai dari Moulin Rouge! (2001) sampai Chicago – ketika Moulin Rouge! Baz Luhrmann jatuh dijegal biopik sup dingin A Beautiful Mind (2001) Ron Howard, maka AMPAS “buru-buru” menghadiahkan Oscar “Film Terbaik” 2002 pada Chicago mumpung tema “karaoke” hingar-bingar tersebut belum basi.

Tampaknya alasan terkuat gagalnya The Pianist mengeksekusi piala emas tersebut karena persepsi after-effect bahwa esensi film tersebut merupakan “pencomotan elemen” dari Schindler’s List (1993) peraih Oscar sembilan taun sebelumnya untuk tema serupa: holocaust bangsa Yahudi. Sama halnya mengapa AMPAS tak memenangkan Atonement (2007) karena adanya unsur historical reflection pada The English Patient (1996) mengakar pada dilema dan trauma PD II dalam drama romantik beraroma British. Lalu Babel (2006) yang dikandaskan The Departed (2006) imitasi thriller dari Hong-Kong seolah menegaskan bahwa film omnibus garapan Alejandro González Iñárritu tersebut adalah déjà vu dari Crash (2004) film urban-rasialis yang pretensius dan miskin akurasi yang setaun sebelumnya di ajang Oscar berhasil mempermalukan kisah cinta sepasang laki-laki paling dahsyat abad ini, Brokeback Mountain (2005). Jika untuk keputusan tematik secara general ditengarai adanya campur tangan banyak pihak hingga menjadi ruwet, tapi hal itu tidak berlaku dalam urusan teknik dan skill. Well, Polanski adalah Polanski. Marshall boleh saja bangga filmnya menang Oscar, tapi itu “hanyalah” berkat sengketa permainan politik yang bergantung pada faktor luck alias untung-untungan. Coba bandingkan kecakapan Marshall seorang pemain relatif “baru” di jagat perfilman yang aslinya koreografer itu dengan Roman Polanski yang telah melahirkan karya-karya jenius abad ini, Rosemary’s Baby (1968), Repulsion (1965), The Tenant (1976), dan tentu saja Chinatown (1971) yang nyantol di memori berkat line mengejutkan yang diucapkan Faye Dunaway setelah berkali-kali ditampar Jack Nicholson: “She’s my daughter. She’s my sister. She’s my daughter. She’s my sister and my daughter!” (Saya pikir mabok nich perempuan, tapi ternyata...??) – wajarlah jika Oscar “Sutradara Terbaik” jatuh ke tangannya. Lalu Adrien Brody? Sebagai Wladyslaw Szpilman, dia dituntut memiliki: hidung dan aksen Polandia (catat: Brody asli Amerika) yang mengingatkan kita pada Meryl Streep dalam Sophie’s Choice (1982) + tubuh kerempeng yang lapar terlunta-lunta, mengais-ais makanan dari tong sampah + kumis, brewok, dan jambang + terutama jari-jari “lentik”-nya yang begitu gemulai menari-nari di atas jajaran tuts piano itu memang lebih dari layak menerima piala Oscar sebagai Aktor Terbaik. By the way, sedikit info tentang sang sutradara yang berdarah Polandia, Roman Polanski, kabarnya hingga kini tidak mengambil pialanya karena ancaman pencekalan oleh pemerintah federal Amerika Serikat atas tuntutan dan dakwaan pencabulan terhadap gadis di bawah umur yang membuatnya terus bersembunyi di salah satu negara di Eropa.

Terjun ke pokok permasalahan: tapak tilas “singkat” tentang riwayat bangsa Yahudi. Saya yakin sebagian besar anda pernah mendengar tentang ras Yahudi sebagai salah satu bangsa paling populer sekaligus paling kontroversial di muka bumi. Satu hal yang pasti yang melatarbelakangi sentimen ekstra tinggi Fuhrer Hitler untuk kemudian membenci dan membantai orang Yahudi di seluruh penjuru daratan Eropa dan memerintahkan pembakaran Alkitab Kristen adalah kecemburuan dan penolakan terhadap ideologi tersembunyi yang ditanamkan dalam Alkitab yang mengatakan bahwa bangsa Yahudi adalah satu-satunya bangsa pilihan JEHOVAH/YAHWEH (sebutan “tuhan” dalam bahasa Ibrani), yang dibuktikan melalui nabi-nabi/raja-raja/rasul-rasul terkemuka yang semuanya dilahirkan dari bangsa ini, sebagaimana tertulis dalam Torah/Alkitab/Al Qur’an, sebutlah Musa (Moses), Daud (David), Salomo (Solomon) atau Sulaiman (dalam Islam), Yesaya (Isaiah)1, Yunus (Jonah), Yosua (Joshua)2, Paulus (Paul)3, Yohanes penulis kitab Wahyu (John of the Patmos)4, Petrus (Peter)5, dll. Di dunia modern di berbagai bidang/ilmu/studi, anda pasti tidak asing dengan nama-nama Yahudi yang menjadi tokoh terkemuka di dunia seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, George Gershwin, Allen Ginsberg, Isaac Stern, Niels Bohr, Felix Mendelssohn, Frida Kahlo, Elizabeth Taylor, Stanley Kubrick, atau Karl Marx.

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (ucapan Yesus sebagaimana dikutip dari Kitab Matius 28: 19-20)

Kitab Kisah Para Rasul (Act of Apostles) dan Kitab Roma (Romans) juga catatan sejarah Barat menuliskan rasul-rasul Kristen terkemuka seperti Paulus, Petrus, dan masih banyak pengikut Yesus lain usai pengangkatan Kristus (konon) kembali ke surga melakukan penyebaran Injil (bukan kitab tapi tentang pengajaran Yesus semasa masih hidup di bumi karena hingga pada saat itu kitab suci orang Kristen belum terbentuk) ke Roma dan Asia Kecil. Dianggap berbahaya terhadap stabilitas negara dan mengancam keberadaan agama politeisme bangsa Romawi, pada masa itu oleh kebanyakan Kaisar Roma terutama Kaisar Nero, orang Kristen dianggap musuh dan dibantai di seluruh Semenanjung Italia. Paulus dan Petrus kemungkinan tewas dalam peristiwa ini. Beberapa abad kemudian setelah Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan menjadikan Kristen sebagai agama negara, barulah pembantaian itu berhenti. Kemudian pada Abad Pertengahan dimana Eropa memasuki “masa kegelapan” ketika agama Katolik mendominasi dan terjadi perburuan dan pembunuhan massal atas nama agama terhadap orang-orang non-Kristen, pemeluk paganisme yang dianggap kafir, tukang sihir dan okultis. Masa ini berakhir ditandai dengan terjadinya perpecahan dalam tubuh Kristen diprakarsai Martin Luther yang hingga kini dikenal sebagai Kaum Protestan disusul masa kejayaan sains dan pesatnya perkembangan penemuan dimana bangsa-bangsa Eropa memasuki masa eksplorasi dengan semboyan 3G (Gold-Gospel-Glory) ke Afrika, Dunia Timur (Asia), dan Dunia Baru (Amerika) dimulai dari ditutupnya Jalur Sutera yang menghubungkan Istambul hingga Cina paska Perang Salib sekitar abad ke-12 kemudian berlangsung hingga abad ke-19 ketika kolonialisme bangsa Eropa di Dunia Timur dan Afrika mencapai puncak keemasannya, agama Kristen pun lantas tersebar ke berbagai belahan dunia dan otomatis kebudayaan Yahudi sebagaimana yang termaklumat di Alkitab Kristen (terutama pada paruh Perjanjian Lama) ikut populer. Akibat kemiskinan masa kecil dan kebencian terhadap orang-orang Yahudi yang menguasai perekonomian Jerman dan Eropa juga budaya Yahudi yang turut disebarluaskan melalui propaganda Alkitab, komoditas sekuler, dan film-film Hollywood menyebabkan Hitler bertekad bulat menghapuskan eksistensi bangsa Yahudi dari muka bumi. Dengan terus melakukan ekspansi ke seluruh Eropa, Soviet, Afrika, Asia Barat hingga Asia Selatan, Hitler berhasrat menihilkan ideologi Kristen, Islam, Hindu, Budha, Confucius yang sebelumnya telah ribuan tahun ada dan menggantinya dengan “agama” baru, yaitu Nazi yang mendoktrin bahwa bangsa pilihan sesungguhnya adalah bangsa Arya.

Anda mungkin bertanya: bagaimana bisa ras Yahudi ada di Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Polandia, Perancis, Italia, dan tersebar di seluruh dunia? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah akibat dari eksodus (dalam teori kritik sastra disebut “diaspora”) lebih dari tiga milenia silam sejak Abraham atau Ibrahim (dalam Islam) yang secara luas diterima sebagai leluhur bangsa Yahudi dan bangsa Arab merupakan seorang penggembala ternak yang hidup nomaden, lalu cucunya, Yakub (dari anaknya, Ishak) memiliki 12 anak yang menjadi cikal-bakal suku-suku utama Israel dan seluruh keluarganya pindah ke Mesir setelah salah satu anaknya, Yosef atau Yusuf (versi Islam) diangkat menjadi petinggi penting di Mesir. Beberapa abad kemudian Israel tumbuh menjadi salah satu bangsa yang paling besar di Mesir dan mengakibatkan kekhawatiran orang Mesir sehingga mereka dijadikan budak sampai tiba hari Musa yang menjadi pahlawan pembebas bangsa Israel dari perbudakan muncul dan membawa bangsa itu keluar dari Mesir menuju “Tanah Perjanjian” (promise land), yaitu “tanah yang telah dijanjikan oleh tuhan, sebuah negeri yang berlimpah anggur, susu, dan madu.” Namun “negeri impian” itu tidaklah kosong tanpa penghuni sehingga sesudah masa kepemimpinan Musa usai, Israel dipimpin Yosua yang mengkomandani perebutan tanah itu dari tangan bangsa-bangsa yang mendiami kawasan sekitar lembah Sungai Yordan. Sepanjang sejarah yang tercatat dalam paruh Perjanjian Lama, berdirinya Israel sebagai kerajaan berdaulat senantiasa diwarnai peperangan dengan negara-negara lain di sekitarnya. Israel yang terpecah menjadi dua kerajaan, Israel dan Yehuda, pasca wafatnya Raja Salomo pun sempat mengalami masa pembuangan kala Raja Babylonia, Nebukadnezar menjajah bangsa itu tapi kemudian diijinkan kembali dari pembuangan dan disensus. Namun, peristiwa pengusiran bangsa Yahudi dari Tanah Palestina (Kanaan) oleh tentara Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 Masehi atau tepatnya 33 tahun sejak Yesus Kristus disalibkan di Golgotha menjadi puncak piramida diaspora bangsa Israel. Mental baja bangsa Yahudi terbentuk melalui pengalaman panjang selama ribuan tahun oleh berbagai penolakan, penyiksaan, dan penindasan – klimaksnya adalah pembantaian jutaan orang Yahudi Eropa oleh Nazi – sehingga ketika Theodore Herlz mensponsori gerakan Zionisme kembali ke tanah Palestina dan mendirikan kembali negara Israel pada tanggal 8 Mei 1948, hingga kini mereka disibukkan dengan aksi perebutan sengit melawan bangsa Palestina – “tetangga”-nya yang telah mendiami “rumah kosong” itu selama 1878 tahun terhitung sejak hari terakhir mereka tinggalkan.

Ngomong-ngomong, kira-kira 2000 tahun jauh sebelum Nazi dan Hitler ada, sebagai bangsa yang terkenal demikian cerdas sekaligus demikan keras kepala dan bebal, dalam catatan mantan pemungut cukai bernama Matius yang diketahui menjadi salah satu pengikut mula-mula Yesus, orang-orang Yahudi pernah dengan lantang berteriak ketika Yesus dihadapkan pada Pontius Pilatus sesaat sebelum peristiwa Golgotha:

“Salibkan dia! Biarlah darahnya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!” (Matius 27: 23-25)

Saya tidak mengatakan bahwa saya percaya pada kutukan – tidak pula berusaha mengafirmasi status keilahian Yesus – tapi mungkin kini orang Yahudi menyadari karma itu. Konsekuensi yang harus mereka bayar mahal. Ya, orang Yahudi menyadari itu.

Perusahaan dan Negara yang Mengacu pada International Financial Reporting Standards

A.   Sekilas mengenai IFRS ( International Financial Reporting Standards ) IFRS (Standar Pelaporan Keuangan Internasional) merupaka...