Kamis, 21 Juni 2012

The Pianist (2002)

Film Correspondent: F. Fajaryanto Suhardi

Movie Review
The Pianist (2002) 


“Memori Seorang Yahudi sebagai Keturunan dari Bangsa yang Paling Dibenci di Seluruh Dunia”

Ada Apa Dengan Yahudi?

Mari kita mengingat kembali apa yang kita lakukan sepuluh tahun lalu. Pada tahun 2002, rasanya sebagian besar dari anda telah melewatkan film ini dan lebih memilih menonton film garapan Sam Raimi yang diangkat dari komik spektakuler Stan Lee, Spider-Man. Padahal jika kita kesampingkan konteks dangkal tentang gegap gempita special effects tercanggih Hollywood saat itu yang dipamerkan dalam seri pertama Spider-Man, ada sesuatu yang luar biasa yang akan anda bawa pulang setelah menyaksikan The Pianist. Bagi anda yang tertarik untuk melakukan studi sejarah tentang “Holocaust” yaitu aksi pembantaian massal ras Yahudi oleh Nazi, maka drama humaniora ini menjadi salah satu rekomendasi paling berbobot dari sejumlah film bertema genosida yang rilis sepanjang satu dekade terakhir. Berdasarkan kisah nyata, seorang pianis berdarah Yahudi, Wladyslaw Szpilman, mengalami serangkaian peristiwa mengerikan selama bertahun-tahun yang kemudian mengubahkan hidupnya selamanya. Berseting di ibukota Polandia, Warsawa yang merupakan salah satu pusat komunitas Yahudi terbesar di Eropa sampai Perang Dunia II, film berdurasi 142 menit ini menyajikan gambaran yang sangat indah sekaligus memilukan tentang keadaan perang di kota itu.

Sebagai pemuda keturunan Yahudi, Szpilman dan keluarganya – ayah, ibu, dua saudarinya Halina dan Regina, dan Hendryk adik laki-lakinya – bersama ratusan ribu orang Yahudi lainnya mengungsi keluar Warsawa setelah tentara Jerman mengambil alih kota itu di bawah rezim Nazi. Mereka diharuskan tinggal di distrik ghetto yang diisolasi tembok pembatas berkawat duri setinggi lima meter untuk mencegah mereka bersosialisasi dengan masyarakat non-Yahudi dan terutama agar mereka tidak kabur. Setiap malam diadakan inspeksi dadakan di kawasan ghetto dan kemudian selalu ada mayat bergelimpangan di jalanan pada pagi harinya. Semua bisnis dan usaha orang-orang Yahudi ditutup, tabungan mereka disita. Mereka juga dilarang makan di restoran umum dan dilarang berbelanja bahan makanan di pasar umum. Secara sengaja, mereka perlahan-lahan dibiarkan melarat dan mati kelaparan. Sehingga pemandangan mayat-mayat kurus kering tinggal kulit pembalut tulang yang ditumpuk dan dibakar dengan bensin akan kita jumpai sepanjang film.

Ada sepenggal kisah ironis yang muncul menjelang film berakhir namun justru menjadi benang merah cerita, yaitu ketika Wladyslaw berada di sebuah rumah tak bertuan – dalam persembunyian di tengah kelaparan yang dahsyat – secara tak sengaja bertemu seorang petinggi SS (Schutzstaffel) yang rupanya amat mengagumi kepiawaiannya berpiano lewat nomor klasik Chopin, Ballad No. 1 Op.23. Bisa anda bayangkan betapa menegangkannya scene ini. Ada pergulatan psikologis yang luar biasa hebat dimana seorang Yahudi tak berdaya tanpa senjata bertemu dengan seorang perwira bersenjata lengkap dari kesatuan SS yang terkenal sangat kejam. Di sinilah sisi kemanusiaan kita dipertaruhkan dan diuji. Apakah perwira SS itu akhirnya membunuhnya atau mungkinkah Wladyslaw berhasil lolos dari maut yang sudah ada di depan mata?

Penghargaan tertinggi Cannes “Palm d’Or” 2002 akhirnya jatuh ke pangkuan Roman Polanski berkat film ini dan nominasi Oscar untuk “Film Terbaik” di taun yang sama. Tapi tunggu dulu – Oscar “hanya” sebatas nominasi? Bukan pemenang? Apa tidak salah tuch? Padahal film ini merupakan kontender terkuat di antara nominator lainnya. Dari segala sisi, The Pianist teruji jauh lebih baik dari musikal Chicago (2002) film kuda hitam yang nyatanya sukses mencuri kategori tertinggi Oscar tersebut – kecuali, tentu saja, untuk urusan unjuk vokal dan goyangan seksi. Siapa yang bisa lupa dengan momen flashback “potret sejarah” pada pembukaan film yang mengambil footage dokumenter lama kota Warsawa akhir dekade 30an dalam format hitam putih diiringi opening menjanjikan dari Polanski dengan menghadirkan “nafas” jemari Adrien Brody memainkan piano melantunkan gubahan komposisi klasik “Nocturne C# minor, B.49” milik Chopin sesaat sebelum digempur mortir hingga kemudian menjadi salah satu adegan film paling klasik sepuluh taun terakhir ini; belum lagi horor agorafobik kala Szpilman berjalan sendirian di antara gedung-gedung hancur sepanjang jangkauan perspektif kamera; atau betapa menggelikan sekaligus mengenaskannya adegan-adegan ketika Szpilman melarikan diri dari tembakan tentara Nazi di atas genteng, ngumpet di sebuah rumah sakit terbengkalai, lalu berbaring di tengah jalan pura-pura mati di samping mayat suster yang sujud kaku saat sepeleton pasukan panzer lari melintas; plus, konser tunggal Brody sebagai Szpilman diiringi credit title menjadi closing scene yang sempurna. Benarkah Chicago Robert Marshall dapat mengalahkan itu semua? Saya rasa AMPAS pun tau apa jawabannya. Silakan protes. Tapi apa yang menyebabkan mereka secara “sepihak” meng-“kudeta” kans kemenangan The Pianist adalah unsur kepentingan theme of the year. Selama dua tahun berturut-turut (2001-2002) Hollywood tengah dilanda demam musikal kabaret yang didominasi cast perempuan mulai dari Moulin Rouge! (2001) sampai Chicago – ketika Moulin Rouge! Baz Luhrmann jatuh dijegal biopik sup dingin A Beautiful Mind (2001) Ron Howard, maka AMPAS “buru-buru” menghadiahkan Oscar “Film Terbaik” 2002 pada Chicago mumpung tema “karaoke” hingar-bingar tersebut belum basi.

Tampaknya alasan terkuat gagalnya The Pianist mengeksekusi piala emas tersebut karena persepsi after-effect bahwa esensi film tersebut merupakan “pencomotan elemen” dari Schindler’s List (1993) peraih Oscar sembilan taun sebelumnya untuk tema serupa: holocaust bangsa Yahudi. Sama halnya mengapa AMPAS tak memenangkan Atonement (2007) karena adanya unsur historical reflection pada The English Patient (1996) mengakar pada dilema dan trauma PD II dalam drama romantik beraroma British. Lalu Babel (2006) yang dikandaskan The Departed (2006) imitasi thriller dari Hong-Kong seolah menegaskan bahwa film omnibus garapan Alejandro González Iñárritu tersebut adalah déjà vu dari Crash (2004) film urban-rasialis yang pretensius dan miskin akurasi yang setaun sebelumnya di ajang Oscar berhasil mempermalukan kisah cinta sepasang laki-laki paling dahsyat abad ini, Brokeback Mountain (2005). Jika untuk keputusan tematik secara general ditengarai adanya campur tangan banyak pihak hingga menjadi ruwet, tapi hal itu tidak berlaku dalam urusan teknik dan skill. Well, Polanski adalah Polanski. Marshall boleh saja bangga filmnya menang Oscar, tapi itu “hanyalah” berkat sengketa permainan politik yang bergantung pada faktor luck alias untung-untungan. Coba bandingkan kecakapan Marshall seorang pemain relatif “baru” di jagat perfilman yang aslinya koreografer itu dengan Roman Polanski yang telah melahirkan karya-karya jenius abad ini, Rosemary’s Baby (1968), Repulsion (1965), The Tenant (1976), dan tentu saja Chinatown (1971) yang nyantol di memori berkat line mengejutkan yang diucapkan Faye Dunaway setelah berkali-kali ditampar Jack Nicholson: “She’s my daughter. She’s my sister. She’s my daughter. She’s my sister and my daughter!” (Saya pikir mabok nich perempuan, tapi ternyata...??) – wajarlah jika Oscar “Sutradara Terbaik” jatuh ke tangannya. Lalu Adrien Brody? Sebagai Wladyslaw Szpilman, dia dituntut memiliki: hidung dan aksen Polandia (catat: Brody asli Amerika) yang mengingatkan kita pada Meryl Streep dalam Sophie’s Choice (1982) + tubuh kerempeng yang lapar terlunta-lunta, mengais-ais makanan dari tong sampah + kumis, brewok, dan jambang + terutama jari-jari “lentik”-nya yang begitu gemulai menari-nari di atas jajaran tuts piano itu memang lebih dari layak menerima piala Oscar sebagai Aktor Terbaik. By the way, sedikit info tentang sang sutradara yang berdarah Polandia, Roman Polanski, kabarnya hingga kini tidak mengambil pialanya karena ancaman pencekalan oleh pemerintah federal Amerika Serikat atas tuntutan dan dakwaan pencabulan terhadap gadis di bawah umur yang membuatnya terus bersembunyi di salah satu negara di Eropa.

Terjun ke pokok permasalahan: tapak tilas “singkat” tentang riwayat bangsa Yahudi. Saya yakin sebagian besar anda pernah mendengar tentang ras Yahudi sebagai salah satu bangsa paling populer sekaligus paling kontroversial di muka bumi. Satu hal yang pasti yang melatarbelakangi sentimen ekstra tinggi Fuhrer Hitler untuk kemudian membenci dan membantai orang Yahudi di seluruh penjuru daratan Eropa dan memerintahkan pembakaran Alkitab Kristen adalah kecemburuan dan penolakan terhadap ideologi tersembunyi yang ditanamkan dalam Alkitab yang mengatakan bahwa bangsa Yahudi adalah satu-satunya bangsa pilihan JEHOVAH/YAHWEH (sebutan “tuhan” dalam bahasa Ibrani), yang dibuktikan melalui nabi-nabi/raja-raja/rasul-rasul terkemuka yang semuanya dilahirkan dari bangsa ini, sebagaimana tertulis dalam Torah/Alkitab/Al Qur’an, sebutlah Musa (Moses), Daud (David), Salomo (Solomon) atau Sulaiman (dalam Islam), Yesaya (Isaiah)1, Yunus (Jonah), Yosua (Joshua)2, Paulus (Paul)3, Yohanes penulis kitab Wahyu (John of the Patmos)4, Petrus (Peter)5, dll. Di dunia modern di berbagai bidang/ilmu/studi, anda pasti tidak asing dengan nama-nama Yahudi yang menjadi tokoh terkemuka di dunia seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, George Gershwin, Allen Ginsberg, Isaac Stern, Niels Bohr, Felix Mendelssohn, Frida Kahlo, Elizabeth Taylor, Stanley Kubrick, atau Karl Marx.

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (ucapan Yesus sebagaimana dikutip dari Kitab Matius 28: 19-20)

Kitab Kisah Para Rasul (Act of Apostles) dan Kitab Roma (Romans) juga catatan sejarah Barat menuliskan rasul-rasul Kristen terkemuka seperti Paulus, Petrus, dan masih banyak pengikut Yesus lain usai pengangkatan Kristus (konon) kembali ke surga melakukan penyebaran Injil (bukan kitab tapi tentang pengajaran Yesus semasa masih hidup di bumi karena hingga pada saat itu kitab suci orang Kristen belum terbentuk) ke Roma dan Asia Kecil. Dianggap berbahaya terhadap stabilitas negara dan mengancam keberadaan agama politeisme bangsa Romawi, pada masa itu oleh kebanyakan Kaisar Roma terutama Kaisar Nero, orang Kristen dianggap musuh dan dibantai di seluruh Semenanjung Italia. Paulus dan Petrus kemungkinan tewas dalam peristiwa ini. Beberapa abad kemudian setelah Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan menjadikan Kristen sebagai agama negara, barulah pembantaian itu berhenti. Kemudian pada Abad Pertengahan dimana Eropa memasuki “masa kegelapan” ketika agama Katolik mendominasi dan terjadi perburuan dan pembunuhan massal atas nama agama terhadap orang-orang non-Kristen, pemeluk paganisme yang dianggap kafir, tukang sihir dan okultis. Masa ini berakhir ditandai dengan terjadinya perpecahan dalam tubuh Kristen diprakarsai Martin Luther yang hingga kini dikenal sebagai Kaum Protestan disusul masa kejayaan sains dan pesatnya perkembangan penemuan dimana bangsa-bangsa Eropa memasuki masa eksplorasi dengan semboyan 3G (Gold-Gospel-Glory) ke Afrika, Dunia Timur (Asia), dan Dunia Baru (Amerika) dimulai dari ditutupnya Jalur Sutera yang menghubungkan Istambul hingga Cina paska Perang Salib sekitar abad ke-12 kemudian berlangsung hingga abad ke-19 ketika kolonialisme bangsa Eropa di Dunia Timur dan Afrika mencapai puncak keemasannya, agama Kristen pun lantas tersebar ke berbagai belahan dunia dan otomatis kebudayaan Yahudi sebagaimana yang termaklumat di Alkitab Kristen (terutama pada paruh Perjanjian Lama) ikut populer. Akibat kemiskinan masa kecil dan kebencian terhadap orang-orang Yahudi yang menguasai perekonomian Jerman dan Eropa juga budaya Yahudi yang turut disebarluaskan melalui propaganda Alkitab, komoditas sekuler, dan film-film Hollywood menyebabkan Hitler bertekad bulat menghapuskan eksistensi bangsa Yahudi dari muka bumi. Dengan terus melakukan ekspansi ke seluruh Eropa, Soviet, Afrika, Asia Barat hingga Asia Selatan, Hitler berhasrat menihilkan ideologi Kristen, Islam, Hindu, Budha, Confucius yang sebelumnya telah ribuan tahun ada dan menggantinya dengan “agama” baru, yaitu Nazi yang mendoktrin bahwa bangsa pilihan sesungguhnya adalah bangsa Arya.

Anda mungkin bertanya: bagaimana bisa ras Yahudi ada di Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Polandia, Perancis, Italia, dan tersebar di seluruh dunia? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah akibat dari eksodus (dalam teori kritik sastra disebut “diaspora”) lebih dari tiga milenia silam sejak Abraham atau Ibrahim (dalam Islam) yang secara luas diterima sebagai leluhur bangsa Yahudi dan bangsa Arab merupakan seorang penggembala ternak yang hidup nomaden, lalu cucunya, Yakub (dari anaknya, Ishak) memiliki 12 anak yang menjadi cikal-bakal suku-suku utama Israel dan seluruh keluarganya pindah ke Mesir setelah salah satu anaknya, Yosef atau Yusuf (versi Islam) diangkat menjadi petinggi penting di Mesir. Beberapa abad kemudian Israel tumbuh menjadi salah satu bangsa yang paling besar di Mesir dan mengakibatkan kekhawatiran orang Mesir sehingga mereka dijadikan budak sampai tiba hari Musa yang menjadi pahlawan pembebas bangsa Israel dari perbudakan muncul dan membawa bangsa itu keluar dari Mesir menuju “Tanah Perjanjian” (promise land), yaitu “tanah yang telah dijanjikan oleh tuhan, sebuah negeri yang berlimpah anggur, susu, dan madu.” Namun “negeri impian” itu tidaklah kosong tanpa penghuni sehingga sesudah masa kepemimpinan Musa usai, Israel dipimpin Yosua yang mengkomandani perebutan tanah itu dari tangan bangsa-bangsa yang mendiami kawasan sekitar lembah Sungai Yordan. Sepanjang sejarah yang tercatat dalam paruh Perjanjian Lama, berdirinya Israel sebagai kerajaan berdaulat senantiasa diwarnai peperangan dengan negara-negara lain di sekitarnya. Israel yang terpecah menjadi dua kerajaan, Israel dan Yehuda, pasca wafatnya Raja Salomo pun sempat mengalami masa pembuangan kala Raja Babylonia, Nebukadnezar menjajah bangsa itu tapi kemudian diijinkan kembali dari pembuangan dan disensus. Namun, peristiwa pengusiran bangsa Yahudi dari Tanah Palestina (Kanaan) oleh tentara Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 Masehi atau tepatnya 33 tahun sejak Yesus Kristus disalibkan di Golgotha menjadi puncak piramida diaspora bangsa Israel. Mental baja bangsa Yahudi terbentuk melalui pengalaman panjang selama ribuan tahun oleh berbagai penolakan, penyiksaan, dan penindasan – klimaksnya adalah pembantaian jutaan orang Yahudi Eropa oleh Nazi – sehingga ketika Theodore Herlz mensponsori gerakan Zionisme kembali ke tanah Palestina dan mendirikan kembali negara Israel pada tanggal 8 Mei 1948, hingga kini mereka disibukkan dengan aksi perebutan sengit melawan bangsa Palestina – “tetangga”-nya yang telah mendiami “rumah kosong” itu selama 1878 tahun terhitung sejak hari terakhir mereka tinggalkan.

Ngomong-ngomong, kira-kira 2000 tahun jauh sebelum Nazi dan Hitler ada, sebagai bangsa yang terkenal demikian cerdas sekaligus demikan keras kepala dan bebal, dalam catatan mantan pemungut cukai bernama Matius yang diketahui menjadi salah satu pengikut mula-mula Yesus, orang-orang Yahudi pernah dengan lantang berteriak ketika Yesus dihadapkan pada Pontius Pilatus sesaat sebelum peristiwa Golgotha:

“Salibkan dia! Biarlah darahnya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!” (Matius 27: 23-25)

Saya tidak mengatakan bahwa saya percaya pada kutukan – tidak pula berusaha mengafirmasi status keilahian Yesus – tapi mungkin kini orang Yahudi menyadari karma itu. Konsekuensi yang harus mereka bayar mahal. Ya, orang Yahudi menyadari itu.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Maaf sedikit koreksi, tentara Jerman yang baik hati itu bukan dari kesatuan SS tapi dari Wehrmacht, kesatuan Heer (AD), namanya Hauptmann Wilm Hosenfeld.

    BalasHapus

Perusahaan dan Negara yang Mengacu pada International Financial Reporting Standards

A.   Sekilas mengenai IFRS ( International Financial Reporting Standards ) IFRS (Standar Pelaporan Keuangan Internasional) merupaka...