Undang-undang
perlindungan konsumen terbentuk untuk melindungi konsumen dari kelicikan-kelicikan
produsen ataupun hal-hal berbahaya atau negatif yang mungkin terjadi pada
konsumen. Kurangnya keperdulian dan banyaknya kesemena-menaan pengolahan produk
telah menanamkan bibit penyakit pada konsumen.
Perlindungan konsumen adalah jaminan
yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan
yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak
tirikan oleh para produsen. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran
yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang dianggap membahayakan
kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
Sudah
banyak masyarakat yang menjadi korban menggunakan produk. Misalnya, masyarakat
yang keracunan makanan dan minuman. Itu sudah banyak terjadi, tapi selalu saja
hasilnya tidak ditemukan unsur yang berbahaya dan ini salah satu pelanggaran UU
Perlindungan Konsumen yang tidak diketahui masyarakat. Disini, pengenalan lebih
lanjut atau sosialisasi sangat diperlukan. Hal itu untuk menekan
ketidakpedulian masyarakat terhadap UU Perlindungan Konsumen agar pelaku usaha
tak sembarangan dan memperbaiki produk-produk yang ditawarkan pada konsumen.
Makanan
kadaluarsa, ikan
atau makanan basah lain yang mengandung formalin dan boraks, daging sisa atau
bekas dari hotel dan restoran yang diolah kembali, produk
susu
yang
mengandung
melamin.
Dari contoh tadi dapat diketahui bahwa konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain konsumen
harus membayar dalam jumlah atau harga
yang boleh dikatakan semakin lama semakin mahal, konsumen juga harus menanggung resiko besar yang membahayakan
kesehatan dan jiwanya, hal yang
memprihatinkan adalah peningkatan harga yang terus menerus terjadi tidak dilandasi
dengan peningkatan kualitas atau mutu produk.
Ada
banyak tanda tanya disini. Kecurangan dan kepicikan itu terjadi karena apa? Diperoleh
dari mana? Kok bisa? Kurangnya penegasan jual-beli barang kurang diperhatikan. Banyak
produsen atau pelaku usaha masih mengambil untung dari barang-barang sisa, atau
pun barang-barang busuk. Sehingga ketika produk buruk ini masih diperjualbelikan
selain menguntungkan si pemilik barang juga akan menguntungkan bagi produsen lain
yang akan memproses ulang barang tersebut. Dan bibit penyakit pun akan mulai
menyebar luas kembali. Eksistensi konsumen tidak sepenuhnya dihargai karena tujuan utama dari penjual
adalah memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya dalam jangka pendek bukan untuk jangka panjang.
Jual-beli
produk yang seharusnya untuk bahan pembangunan namun berubah fungsi menjadi
bahan makanan juga marak terjadi. Seharusnya ‘mungkin’ untuk jaman yang edan
ini jual-beli harus memakai identitas diri agar tujuan pembelian barang jelas
untuk apa. Entah apa yang dipikirkan otak-otak kotor dunia jaman sekarang. Sudah
cukup sulit memberikan solusi yang matang dan berpotensi ampuh untuk semua
kalangan.
Sebenarnya
untuk melindungi hak konsumen sesuai UU Perlindungan Konsumen pemerintah telah menetapkan
Standart Nasional Indonesia (SNI) terhadap semua produk Indonesia. Ada produk
standart yang dikeluarkan perindustrian, ada label Departemen Kesehatan, ada
dari Departemen Perundang-undangan. Apabila dilanggar harus dilaporkan. Tujuannya
agar generasi penerus dapat berdaya saing. Tanpa daya saing, bangsa Indonesia
bisa jadi bangsa yang tidak jelas, sehingga harus ditegaskan bahwa UU
Perlindungan Konsumen harus ditegakkan.
Salah
satu cermin negara demokrasi ialah adanya kebebasan dalam berekspresi atau
mengemukakan pendapat. Pendapat di sini bukan hanya berarti sekedar opini,
melainkan juga keluhan atau kritikan terhadap pihak tertentu baik itu institusi
pemerintah maupun swasta yang dinilai memang sudah bertindak terlewat batas.
UU
nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disosialisasikan agar konsumen
cerdas dan pelaku usaha bertanggung jawab. Ada beberapa hak konsumen termasuk
informasi soal produk yang kita beli. Tapi, sejauh ini, pelaku usaha banyak
yang melanggarnya. Padahal, UU ini mengamanahkan bahwa hak konsumen harus
dihargai, tapi banyak pelaku usaha kadang masih bersikap arogan.
Hak
konsumen seperti hak memperoleh advokasi, hak ganti rugi dan rehabilitasi harus
dihargai. Misalnya, beli barang atau jasa, kadang pelaku usaha menyatakan bahwa
barang yang sudah di beli tidak bisa dikembalikan. Yang begitu melanggar,
padahal konsumen punya hak mengembalikan kalau kualitas barang yang dibeli
tidak sesuai.
Tidak
hanya dalam persoalan makanan. Banyak terjadinya kasus-kasus yang berkaitan
dengan perlindungan konsumen lainnya mungkin sudah banyak didengar hingga
bosan. Penegak hukum pun terkadang kurang cermat dalam mengambil
langkah-langkah ataupun dalam pemrosesan kasus, baik dalam pengambilan
keputusan ataupun penindak lanjutan untuk ke depannya.
Jika
ditinjau dari dunia pertelevisian. Dapat dilihat banyaknya penayangan secara
terang-terangan proses memproduksi dengan cara-cara yang kotor tadi. Mungkin bermanfaat
dan bernilai positif bagi mayarakat konsumen. Tapi di sisi lain banyak
produsen-produsen yang akhirnya terarahkan untuk melakukan hal yang sama. Entah
tindakan apa yang harus diambil saya juga bingung.
Sebagai
konsumen, kita tidak perlu takut untuk mengkritik jika terdapat perlakuan buruk
terhadap kita dan supaya lebih berhati-hati dalam bertindak. Sedangkan bagi
pihak yang ruang lingkup kerjanya selalu berhubungan dengan pelayanan publik,
jadikan kasus ini sebagai peringatan untuk dapat bertindak professional dengan
mengutamakan pelayanan. Diharapkan juga bagi penegak hukum di Indonesia agar
cermat dalam mengambil keputusan dengan mengutamakan hak yang berimbang antara
yang digugat dan penggugat.
Dalam
kondisi yang merajalela saat ini sangat diperlukan edukasi di bidang
perlindungan konsumen sejak usia sekolah. Sehingga, para pelajar bisa mengerti
dan memahami sebagai konsumen muda dan pelaku pasar yang cerdas, kritis dan
ikut menentukan tumbuh kembangnya aktivitas usaha perekonomian nasional.
Menetapkan
undang-undang yang tegas dan jelas, menetapkan sanksi yang tegas atas
pelanggaran terhadap UU, mengawasi secara langsung dalam proses produksi sebuah
produk yang akan diproduksi dalam skala
besar, melakukan pengawasan terhadap produk – produk yang dijual di
pasaran, menyeleksi dengan teliti sebelum memberikan izin beredarnya sebuah
produk, mungkin itu beberapa langkah yang harus dijalankan Pemerintah menurut
saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar