Minggu, 24 Juni 2012

Sejauh Mana Undang-Undang Perlindungan Konsumen Sudah Ditegakkan


Undang-undang perlindungan konsumen terbentuk untuk melindungi konsumen dari kelicikan-kelicikan produsen ataupun hal-hal berbahaya atau negatif yang mungkin terjadi pada konsumen. Kurangnya keperdulian dan banyaknya kesemena-menaan pengolahan produk telah menanamkan bibit penyakit pada konsumen.
Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
Sudah banyak masyarakat yang menjadi korban menggunakan produk. Misalnya, masyarakat yang keracunan makanan dan minuman. Itu sudah banyak terjadi, tapi selalu saja hasilnya tidak ditemukan unsur yang berbahaya dan ini salah satu pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang tidak diketahui masyarakat. Disini, pengenalan lebih lanjut atau sosialisasi sangat diperlukan. Hal itu untuk menekan ketidakpedulian masyarakat terhadap UU Perlindungan Konsumen agar pelaku usaha tak sembarangan dan memperbaiki produk-produk yang ditawarkan pada konsumen.
Makanan kadaluarsa, ikan atau makanan basah lain yang mengandung formalin dan boraks, daging sisa atau bekas dari hotel dan restoran yang diolah kembali, produk susu yang mengandung melamin. Dari contoh tadi dapat diketahui bahwa konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain konsumen harus membayar dalam jumlah atau harga yang boleh dikatakan semakin lama semakin mahal, konsumen juga harus menanggung resiko besar yang membahayakan kesehatan dan jiwanya, hal yang memprihatinkan adalah peningkatan harga yang terus menerus terjadi tidak dilandasi dengan peningkatan kualitas atau mutu produk.
Ada banyak tanda tanya disini. Kecurangan dan kepicikan itu terjadi karena apa? Diperoleh dari mana? Kok bisa? Kurangnya penegasan jual-beli barang kurang diperhatikan. Banyak produsen atau pelaku usaha masih mengambil untung dari barang-barang sisa, atau pun barang-barang busuk. Sehingga ketika produk buruk ini masih diperjualbelikan selain menguntungkan si pemilik barang juga akan menguntungkan bagi produsen lain yang akan memproses ulang barang tersebut. Dan bibit penyakit pun akan mulai menyebar luas kembali. Eksistensi konsumen tidak sepenuhnya dihargai karena tujuan utama dari penjual adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam jangka pendek bukan untuk  jangka panjang.
Jual-beli produk yang seharusnya untuk bahan pembangunan namun berubah fungsi menjadi bahan makanan juga marak terjadi. Seharusnya ‘mungkin’ untuk jaman yang edan ini jual-beli harus memakai identitas diri agar tujuan pembelian barang jelas untuk apa. Entah apa yang dipikirkan otak-otak kotor dunia jaman sekarang. Sudah cukup sulit memberikan solusi yang matang dan berpotensi ampuh untuk semua kalangan.
Sebenarnya untuk melindungi hak konsumen sesuai UU Perlindungan Konsumen pemerintah telah menetapkan Standart Nasional Indonesia (SNI) terhadap semua produk Indonesia. Ada produk standart yang dikeluarkan perindustrian, ada label Departemen Kesehatan, ada dari Departemen Perundang-undangan. Apabila dilanggar harus dilaporkan. Tujuannya agar generasi penerus dapat berdaya saing. Tanpa daya saing, bangsa Indonesia bisa jadi bangsa yang tidak jelas, sehingga harus ditegaskan bahwa UU Perlindungan Konsumen harus ditegakkan.
Salah satu cermin negara demokrasi ialah adanya kebebasan dalam berekspresi atau mengemukakan pendapat. Pendapat di sini bukan hanya berarti sekedar opini, melainkan juga keluhan atau kritikan terhadap pihak tertentu baik itu institusi pemerintah maupun swasta yang dinilai memang sudah bertindak terlewat batas.
UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disosialisasikan agar konsumen cerdas dan pelaku usaha bertanggung jawab. Ada beberapa hak konsumen termasuk informasi soal produk yang kita beli. Tapi, sejauh ini, pelaku usaha banyak yang melanggarnya. Padahal,  UU ini mengamanahkan bahwa hak konsumen harus dihargai, tapi banyak pelaku usaha kadang masih bersikap arogan.
Hak konsumen seperti hak memperoleh advokasi, hak ganti rugi dan rehabilitasi harus dihargai. Misalnya, beli barang atau jasa, kadang pelaku usaha menyatakan bahwa barang yang sudah di beli tidak bisa dikembalikan. Yang begitu melanggar, padahal konsumen punya hak mengembalikan kalau kualitas barang yang dibeli tidak sesuai.
Tidak hanya dalam persoalan makanan. Banyak terjadinya kasus-kasus yang berkaitan dengan perlindungan konsumen lainnya mungkin sudah banyak didengar hingga bosan. Penegak hukum pun terkadang kurang cermat dalam mengambil langkah-langkah ataupun dalam pemrosesan kasus, baik dalam pengambilan keputusan ataupun penindak lanjutan untuk ke depannya.
Jika ditinjau dari dunia pertelevisian. Dapat dilihat banyaknya penayangan secara terang-terangan proses memproduksi dengan cara-cara yang kotor tadi. Mungkin bermanfaat dan bernilai positif bagi mayarakat konsumen. Tapi di sisi lain banyak produsen-produsen yang akhirnya terarahkan untuk melakukan hal yang sama. Entah tindakan apa yang harus diambil saya juga bingung.
Sebagai konsumen, kita tidak perlu takut untuk mengkritik jika terdapat perlakuan buruk terhadap kita dan supaya lebih berhati-hati dalam bertindak. Sedangkan bagi pihak yang ruang lingkup kerjanya selalu berhubungan dengan pelayanan publik, jadikan kasus ini sebagai peringatan untuk dapat bertindak professional dengan mengutamakan pelayanan. Diharapkan juga bagi penegak hukum di Indonesia agar cermat dalam mengambil keputusan dengan mengutamakan hak yang berimbang antara yang digugat dan penggugat.
Dalam kondisi yang merajalela saat ini sangat diperlukan edukasi di bidang perlindungan konsumen sejak usia sekolah. Sehingga, para pelajar bisa mengerti dan memahami sebagai konsumen muda dan pelaku pasar yang cerdas, kritis dan ikut menentukan tumbuh kembangnya aktivitas usaha perekonomian nasional.
Menetapkan undang-undang yang tegas dan jelas, menetapkan sanksi yang tegas atas pelanggaran terhadap UU, mengawasi secara langsung dalam proses produksi sebuah produk yang akan diproduksi dalam skala besar, melakukan pengawasan terhadap produk – produk yang dijual di pasaran, menyeleksi dengan teliti sebelum memberikan izin beredarnya sebuah produk, mungkin itu beberapa langkah yang harus dijalankan Pemerintah menurut saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perusahaan dan Negara yang Mengacu pada International Financial Reporting Standards

A.   Sekilas mengenai IFRS ( International Financial Reporting Standards ) IFRS (Standar Pelaporan Keuangan Internasional) merupaka...