Film Correspondent: F. Fajaryanto Suhardi
Movie Review
The Pianist (2002)
“Memori Seorang Yahudi sebagai Keturunan dari Bangsa yang Paling Dibenci di Seluruh Dunia”
Ada Apa Dengan Yahudi?
Mari kita mengingat kembali apa yang kita lakukan sepuluh tahun lalu.
Pada tahun 2002, rasanya sebagian besar dari anda telah melewatkan film
ini dan lebih memilih menonton film garapan Sam Raimi yang diangkat dari
komik spektakuler Stan Lee, Spider-Man. Padahal jika kita kesampingkan
konteks dangkal tentang gegap gempita special effects tercanggih
Hollywood saat itu yang dipamerkan dalam seri pertama Spider-Man, ada
sesuatu yang luar biasa yang akan anda bawa pulang setelah menyaksikan
The Pianist. Bagi anda yang tertarik untuk melakukan studi sejarah
tentang “Holocaust” yaitu aksi pembantaian massal ras Yahudi oleh Nazi,
maka drama humaniora ini menjadi salah satu rekomendasi paling berbobot
dari sejumlah film bertema genosida yang rilis sepanjang satu dekade
terakhir. Berdasarkan kisah nyata, seorang pianis berdarah Yahudi,
Wladyslaw Szpilman, mengalami serangkaian peristiwa mengerikan selama
bertahun-tahun yang kemudian mengubahkan hidupnya selamanya. Berseting
di ibukota Polandia, Warsawa yang merupakan salah satu pusat komunitas
Yahudi terbesar di Eropa sampai Perang Dunia II, film berdurasi 142
menit ini menyajikan gambaran yang sangat indah sekaligus memilukan
tentang keadaan perang di kota itu.
Sebagai pemuda keturunan
Yahudi, Szpilman dan keluarganya – ayah, ibu, dua saudarinya Halina dan
Regina, dan Hendryk adik laki-lakinya – bersama ratusan ribu orang
Yahudi lainnya mengungsi keluar Warsawa setelah tentara Jerman mengambil
alih kota itu di bawah rezim Nazi. Mereka diharuskan tinggal di distrik
ghetto yang diisolasi tembok pembatas berkawat duri setinggi lima meter
untuk mencegah mereka bersosialisasi dengan masyarakat non-Yahudi dan
terutama agar mereka tidak kabur. Setiap malam diadakan inspeksi dadakan
di kawasan ghetto dan kemudian selalu ada mayat bergelimpangan di
jalanan pada pagi harinya. Semua bisnis dan usaha orang-orang Yahudi
ditutup, tabungan mereka disita. Mereka juga dilarang makan di restoran
umum dan dilarang berbelanja bahan makanan di pasar umum. Secara
sengaja, mereka perlahan-lahan dibiarkan melarat dan mati kelaparan.
Sehingga pemandangan mayat-mayat kurus kering tinggal kulit pembalut
tulang yang ditumpuk dan dibakar dengan bensin akan kita jumpai
sepanjang film.
Ada sepenggal kisah ironis yang muncul
menjelang film berakhir namun justru menjadi benang merah cerita, yaitu
ketika Wladyslaw berada di sebuah rumah tak bertuan – dalam
persembunyian di tengah kelaparan yang dahsyat – secara tak sengaja
bertemu seorang petinggi SS (Schutzstaffel) yang rupanya amat mengagumi
kepiawaiannya berpiano lewat nomor klasik Chopin, Ballad No. 1 Op.23.
Bisa anda bayangkan betapa menegangkannya scene ini. Ada pergulatan
psikologis yang luar biasa hebat dimana seorang Yahudi tak berdaya tanpa
senjata bertemu dengan seorang perwira bersenjata lengkap dari kesatuan
SS yang terkenal sangat kejam. Di sinilah sisi kemanusiaan kita
dipertaruhkan dan diuji. Apakah perwira SS itu akhirnya membunuhnya atau
mungkinkah Wladyslaw berhasil lolos dari maut yang sudah ada di depan
mata?
Penghargaan tertinggi Cannes “Palm d’Or” 2002 akhirnya
jatuh ke pangkuan Roman Polanski berkat film ini dan nominasi Oscar
untuk “Film Terbaik” di taun yang sama. Tapi tunggu dulu – Oscar “hanya”
sebatas nominasi? Bukan pemenang? Apa tidak salah tuch? Padahal film
ini merupakan kontender terkuat di antara nominator lainnya. Dari segala
sisi, The Pianist teruji jauh lebih baik dari musikal Chicago (2002)
film kuda hitam yang nyatanya sukses mencuri kategori tertinggi Oscar
tersebut – kecuali, tentu saja, untuk urusan unjuk vokal dan goyangan
seksi. Siapa yang bisa lupa dengan momen flashback “potret sejarah” pada
pembukaan film yang mengambil footage dokumenter lama kota Warsawa
akhir dekade 30an dalam format hitam putih diiringi opening menjanjikan
dari Polanski dengan menghadirkan “nafas” jemari Adrien Brody memainkan
piano melantunkan gubahan komposisi klasik “Nocturne C# minor, B.49”
milik Chopin sesaat sebelum digempur mortir hingga kemudian menjadi
salah satu adegan film paling klasik sepuluh taun terakhir ini; belum
lagi horor agorafobik kala Szpilman berjalan sendirian di antara
gedung-gedung hancur sepanjang jangkauan perspektif kamera; atau betapa
menggelikan sekaligus mengenaskannya adegan-adegan ketika Szpilman
melarikan diri dari tembakan tentara Nazi di atas genteng, ngumpet di
sebuah rumah sakit terbengkalai, lalu berbaring di tengah jalan
pura-pura mati di samping mayat suster yang sujud kaku saat sepeleton
pasukan panzer lari melintas; plus, konser tunggal Brody sebagai
Szpilman diiringi credit title menjadi closing scene yang sempurna.
Benarkah Chicago Robert Marshall dapat mengalahkan itu semua? Saya rasa
AMPAS pun tau apa jawabannya. Silakan protes. Tapi apa yang menyebabkan
mereka secara “sepihak” meng-“kudeta” kans kemenangan The Pianist adalah
unsur kepentingan theme of the year. Selama dua tahun berturut-turut
(2001-2002) Hollywood tengah dilanda demam musikal kabaret yang
didominasi cast perempuan mulai dari Moulin Rouge! (2001) sampai Chicago
– ketika Moulin Rouge! Baz Luhrmann jatuh dijegal biopik sup dingin A
Beautiful Mind (2001) Ron Howard, maka AMPAS “buru-buru” menghadiahkan
Oscar “Film Terbaik” 2002 pada Chicago mumpung tema “karaoke”
hingar-bingar tersebut belum basi.
Tampaknya alasan terkuat
gagalnya The Pianist mengeksekusi piala emas tersebut karena persepsi
after-effect bahwa esensi film tersebut merupakan “pencomotan elemen”
dari Schindler’s List (1993) peraih Oscar sembilan taun sebelumnya untuk
tema serupa: holocaust bangsa Yahudi. Sama halnya mengapa AMPAS tak
memenangkan Atonement (2007) karena adanya unsur historical reflection
pada The English Patient (1996) mengakar pada dilema dan trauma PD II
dalam drama romantik beraroma British. Lalu Babel (2006) yang
dikandaskan The Departed (2006) imitasi thriller dari Hong-Kong seolah
menegaskan bahwa film omnibus garapan Alejandro González Iñárritu
tersebut adalah déjà vu dari Crash (2004) film urban-rasialis yang
pretensius dan miskin akurasi yang setaun sebelumnya di ajang Oscar
berhasil mempermalukan kisah cinta sepasang laki-laki paling dahsyat
abad ini, Brokeback Mountain (2005). Jika untuk keputusan tematik secara
general ditengarai adanya campur tangan banyak pihak hingga menjadi
ruwet, tapi hal itu tidak berlaku dalam urusan teknik dan skill. Well,
Polanski adalah Polanski. Marshall boleh saja bangga filmnya menang
Oscar, tapi itu “hanyalah” berkat sengketa permainan politik yang
bergantung pada faktor luck alias untung-untungan. Coba bandingkan
kecakapan Marshall seorang pemain relatif “baru” di jagat perfilman yang
aslinya koreografer itu dengan Roman Polanski yang telah melahirkan
karya-karya jenius abad ini, Rosemary’s Baby (1968), Repulsion (1965),
The Tenant (1976), dan tentu saja Chinatown (1971) yang nyantol di
memori berkat line mengejutkan yang diucapkan Faye Dunaway setelah
berkali-kali ditampar Jack Nicholson: “She’s my daughter. She’s my
sister. She’s my daughter. She’s my sister and my daughter!” (Saya pikir
mabok nich perempuan, tapi ternyata...??) – wajarlah jika Oscar
“Sutradara Terbaik” jatuh ke tangannya. Lalu Adrien Brody? Sebagai
Wladyslaw Szpilman, dia dituntut memiliki: hidung dan aksen Polandia
(catat: Brody asli Amerika) yang mengingatkan kita pada Meryl Streep
dalam Sophie’s Choice (1982) + tubuh kerempeng yang lapar
terlunta-lunta, mengais-ais makanan dari tong sampah + kumis, brewok,
dan jambang + terutama jari-jari “lentik”-nya yang begitu gemulai
menari-nari di atas jajaran tuts piano itu memang lebih dari layak
menerima piala Oscar sebagai Aktor Terbaik. By the way, sedikit info
tentang sang sutradara yang berdarah Polandia, Roman Polanski, kabarnya
hingga kini tidak mengambil pialanya karena ancaman pencekalan oleh
pemerintah federal Amerika Serikat atas tuntutan dan dakwaan pencabulan
terhadap gadis di bawah umur yang membuatnya terus bersembunyi di salah
satu negara di Eropa.
Terjun ke pokok permasalahan: tapak
tilas “singkat” tentang riwayat bangsa Yahudi. Saya yakin sebagian besar
anda pernah mendengar tentang ras Yahudi sebagai salah satu bangsa
paling populer sekaligus paling kontroversial di muka bumi. Satu hal
yang pasti yang melatarbelakangi sentimen ekstra tinggi Fuhrer Hitler
untuk kemudian membenci dan membantai orang Yahudi di seluruh penjuru
daratan Eropa dan memerintahkan pembakaran Alkitab Kristen adalah
kecemburuan dan penolakan terhadap ideologi tersembunyi yang ditanamkan
dalam Alkitab yang mengatakan bahwa bangsa Yahudi adalah satu-satunya
bangsa pilihan JEHOVAH/YAHWEH (sebutan “tuhan” dalam bahasa Ibrani),
yang dibuktikan melalui nabi-nabi/raja-raja/rasul-rasul terkemuka yang
semuanya dilahirkan dari bangsa ini, sebagaimana tertulis dalam
Torah/Alkitab/Al Qur’an, sebutlah Musa (Moses), Daud (David), Salomo
(Solomon) atau Sulaiman (dalam Islam), Yesaya (Isaiah)1, Yunus (Jonah),
Yosua (Joshua)2, Paulus (Paul)3, Yohanes penulis kitab Wahyu (John of
the Patmos)4, Petrus (Peter)5, dll. Di dunia modern di berbagai
bidang/ilmu/studi, anda pasti tidak asing dengan nama-nama Yahudi yang
menjadi tokoh terkemuka di dunia seperti Albert Einstein, Sigmund Freud,
George Gershwin, Allen Ginsberg, Isaac Stern, Niels Bohr, Felix
Mendelssohn, Frida Kahlo, Elizabeth Taylor, Stanley Kubrick, atau Karl
Marx.
“Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan
Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (ucapan Yesus sebagaimana dikutip
dari Kitab Matius 28: 19-20)
Kitab Kisah Para Rasul (Act of
Apostles) dan Kitab Roma (Romans) juga catatan sejarah Barat menuliskan
rasul-rasul Kristen terkemuka seperti Paulus, Petrus, dan masih banyak
pengikut Yesus lain usai pengangkatan Kristus (konon) kembali ke surga
melakukan penyebaran Injil (bukan kitab tapi tentang pengajaran Yesus
semasa masih hidup di bumi karena hingga pada saat itu kitab suci orang
Kristen belum terbentuk) ke Roma dan Asia Kecil. Dianggap berbahaya
terhadap stabilitas negara dan mengancam keberadaan agama politeisme
bangsa Romawi, pada masa itu oleh kebanyakan Kaisar Roma terutama Kaisar
Nero, orang Kristen dianggap musuh dan dibantai di seluruh Semenanjung
Italia. Paulus dan Petrus kemungkinan tewas dalam peristiwa ini.
Beberapa abad kemudian setelah Kaisar Konstantin memeluk Kristen dan
menjadikan Kristen sebagai agama negara, barulah pembantaian itu
berhenti. Kemudian pada Abad Pertengahan dimana Eropa memasuki “masa
kegelapan” ketika agama Katolik mendominasi dan terjadi perburuan dan
pembunuhan massal atas nama agama terhadap orang-orang non-Kristen,
pemeluk paganisme yang dianggap kafir, tukang sihir dan okultis. Masa
ini berakhir ditandai dengan terjadinya perpecahan dalam tubuh Kristen
diprakarsai Martin Luther yang hingga kini dikenal sebagai Kaum
Protestan disusul masa kejayaan sains dan pesatnya perkembangan penemuan
dimana bangsa-bangsa Eropa memasuki masa eksplorasi dengan semboyan 3G
(Gold-Gospel-Glory) ke Afrika, Dunia Timur (Asia), dan Dunia Baru
(Amerika) dimulai dari ditutupnya Jalur Sutera yang menghubungkan
Istambul hingga Cina paska Perang Salib sekitar abad ke-12 kemudian
berlangsung hingga abad ke-19 ketika kolonialisme bangsa Eropa di Dunia
Timur dan Afrika mencapai puncak keemasannya, agama Kristen pun lantas
tersebar ke berbagai belahan dunia dan otomatis kebudayaan Yahudi
sebagaimana yang termaklumat di Alkitab Kristen (terutama pada paruh
Perjanjian Lama) ikut populer. Akibat kemiskinan masa kecil dan
kebencian terhadap orang-orang Yahudi yang menguasai perekonomian Jerman
dan Eropa juga budaya Yahudi yang turut disebarluaskan melalui
propaganda Alkitab, komoditas sekuler, dan film-film Hollywood
menyebabkan Hitler bertekad bulat menghapuskan eksistensi bangsa Yahudi
dari muka bumi. Dengan terus melakukan ekspansi ke seluruh Eropa,
Soviet, Afrika, Asia Barat hingga Asia Selatan, Hitler berhasrat
menihilkan ideologi Kristen, Islam, Hindu, Budha, Confucius yang
sebelumnya telah ribuan tahun ada dan menggantinya dengan “agama” baru,
yaitu Nazi yang mendoktrin bahwa bangsa pilihan sesungguhnya adalah
bangsa Arya.
Anda mungkin bertanya: bagaimana bisa ras Yahudi
ada di Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Polandia, Perancis, Italia, dan
tersebar di seluruh dunia? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah
akibat dari eksodus (dalam teori kritik sastra disebut “diaspora”) lebih
dari tiga milenia silam sejak Abraham atau Ibrahim (dalam Islam) yang
secara luas diterima sebagai leluhur bangsa Yahudi dan bangsa Arab
merupakan seorang penggembala ternak yang hidup nomaden, lalu cucunya,
Yakub (dari anaknya, Ishak) memiliki 12 anak yang menjadi cikal-bakal
suku-suku utama Israel dan seluruh keluarganya pindah ke Mesir setelah
salah satu anaknya, Yosef atau Yusuf (versi Islam) diangkat menjadi
petinggi penting di Mesir. Beberapa abad kemudian Israel tumbuh menjadi
salah satu bangsa yang paling besar di Mesir dan mengakibatkan
kekhawatiran orang Mesir sehingga mereka dijadikan budak sampai tiba
hari Musa yang menjadi pahlawan pembebas bangsa Israel dari perbudakan
muncul dan membawa bangsa itu keluar dari Mesir menuju “Tanah
Perjanjian” (promise land), yaitu “tanah yang telah dijanjikan oleh
tuhan, sebuah negeri yang berlimpah anggur, susu, dan madu.” Namun
“negeri impian” itu tidaklah kosong tanpa penghuni sehingga sesudah masa
kepemimpinan Musa usai, Israel dipimpin Yosua yang mengkomandani
perebutan tanah itu dari tangan bangsa-bangsa yang mendiami kawasan
sekitar lembah Sungai Yordan. Sepanjang sejarah yang tercatat dalam
paruh Perjanjian Lama, berdirinya Israel sebagai kerajaan berdaulat
senantiasa diwarnai peperangan dengan negara-negara lain di sekitarnya.
Israel yang terpecah menjadi dua kerajaan, Israel dan Yehuda, pasca
wafatnya Raja Salomo pun sempat mengalami masa pembuangan kala Raja
Babylonia, Nebukadnezar menjajah bangsa itu tapi kemudian diijinkan
kembali dari pembuangan dan disensus. Namun, peristiwa pengusiran bangsa
Yahudi dari Tanah Palestina (Kanaan) oleh tentara Romawi di bawah
pimpinan Jenderal Titus pada tahun 70 Masehi atau tepatnya 33 tahun
sejak Yesus Kristus disalibkan di Golgotha menjadi puncak piramida
diaspora bangsa Israel. Mental baja bangsa Yahudi terbentuk melalui
pengalaman panjang selama ribuan tahun oleh berbagai penolakan,
penyiksaan, dan penindasan – klimaksnya adalah pembantaian jutaan orang
Yahudi Eropa oleh Nazi – sehingga ketika Theodore Herlz
mensponsori gerakan Zionisme kembali ke tanah Palestina dan
mendirikan kembali negara Israel pada tanggal 8 Mei 1948, hingga kini
mereka disibukkan dengan aksi perebutan sengit melawan bangsa Palestina –
“tetangga”-nya yang telah mendiami “rumah kosong” itu selama 1878 tahun
terhitung sejak hari terakhir mereka tinggalkan.
Ngomong-ngomong, kira-kira 2000 tahun jauh sebelum Nazi dan Hitler ada,
sebagai bangsa yang terkenal demikian cerdas sekaligus demikan keras
kepala dan bebal, dalam catatan mantan pemungut cukai bernama Matius
yang diketahui menjadi salah satu pengikut mula-mula Yesus, orang-orang
Yahudi pernah dengan lantang berteriak ketika Yesus dihadapkan pada
Pontius Pilatus sesaat sebelum peristiwa Golgotha:
“Salibkan dia! Biarlah darahnya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!” (Matius 27: 23-25)
Saya tidak mengatakan bahwa saya percaya pada kutukan – tidak pula
berusaha mengafirmasi status keilahian Yesus – tapi mungkin kini orang
Yahudi menyadari karma itu. Konsekuensi yang harus mereka bayar mahal.
Ya, orang Yahudi menyadari itu.