KOPERASI sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan politik yang cukup kuat karena memiliki cantolan konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan".
Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi disebut juga sebagai the third way, atau "jalan ketiga", istilah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony Giddens, yaitu sebagai "jalan tengah" antara kapitalisme dan sosialisme. Walaupun ia sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga membedakan antara "koperasi sosial" yang berdasarkan asas gotong royong, dengan "koperasi ekonomi" yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif. Dengan cara itulah sistem koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.
Tapi, di negara sosialis seperti RRC, koperasi adalah counterpart sector negara, karena itu koperasi disebut juga sebagai "sektor sosial" (social sector) yang merupakan wadah dari usaha individu dan usaha rumah tangga. Di negara-negara kapitalis, baik di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Australia, koperasi juga menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah, Di Jepang, koperasi telah menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Di pedesaan Jepang, koperasi menggantikan peranan bank atau menjadi semacam "bank rakyat", yaitu koperasi yang beroperasi dengan sistem perbankan. Karena itu, gagasan sekarang untuk menghapuskan departemen koperasi dan pembinaan usaha kecil dan menengah, bukan hal yang mengejutkan, karena sebelum Orde Baru tidak dikenal kantor menteri negara atau departemen koperasi. Bahkan, kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Bung Hatta sendiri pun tidak ada departemen atau menteri negara yang khusus membina koperasi.
Konon, Radius Prawiro, ketika bersama-sama menghadiri sidang IGGI di Den Haag, secara guyon bertanya kepada Bustanil Arifin, Menteri Koperasi saat itu, "Mengapa koperasi cukup maju di Negeri Belanda?" Tanpa menunggu jawaban yang ditanya, Radius yang memang suka humor itu menjawabnya sendiri, "Karena di sini tidak ada departemen koperasi". Walaupun keterangan mantan Menkeu dan Menko Ekuin itu hanya senda gurau, namun di Belanda yang tidak mengenal departemen atau menteri negara urusan koperasi, koperasi ternyata cukup maju dan menjadi bagian perekonomian yang penting. Sebenarnya asas kekeluargaan yang menurut keterangan Bung Hatta diambilnya dari Taman Siswa yang menggambarkan hubungan antara murid dan guru sebagai satu keluarga, yang berlawanan dengan hubungan kelas antara buruh dan majikan, terjemahannya dengan istilah modern sebenarnya cooperation atau demokrasi ekonomi yang terdiri dari dua asas yang saling berkaitan, yaitu solidaritas dan individualitas.
Dalam masyarakat dengan ciri rendahnya tingkat amanah seperti di Indonesia, mungkin koperasi adalah sebuah lembaga yang dapat dipakai untuk membangun mutual-trust, yang merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk membangun organisasi skala besar karena koperasi, menurut Bung Hatta, bukan semata-mata lembaga ekonomi, melainkan juga lembaga pendidikan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar